Kamis, 25 Mei 2017

TUGAS INDIVIDU SOFTSKILL AKUNTANSI INTERTERNASIONAL

Nama         : Yenny
NPM          : 29213428
Kelas          : 4EB04
ARTIKEL 1

PERSOALAN terkait pajak internasional seperti persaingan pajak (tax competition), negara tax haven, serta ketimpangan distribusi pendapatan kerap kali merugikan baik negara maju, dan terutama negara berkembang. Lantas, bagaimanakah para pengambil kebijakan menyikapi hal ini?
Buku bertajuk Global Tax Fairness ini memaparkan usulan dari berbagai kontributor ahli untuk memperbaiki sistem pajak internasional. Buku terbitan Oxford University Press pada tahun 2016 ini sangat menarik karena solusi yang ditawarkan tidak terbatas hanya pada solusi yang sering dibahas oleh organisasi internasional seperti OECD, namun juga usulan yang mungkin sedikit asing atau tidak pernah digagas sebelumnya.
Dalam salah satu bab, Vito Tanzi menjelaskan perlunya dibentuk Otoritas Pajak Global (Global Tax Authority). Menurutnya, dalam era globalisasi di mana telah banyak muncul organisasi internasional yang menangani berbagai isu, belum ada sebuah organisasi yang mengatur hubungan perpajakan antarnegara, menangani masalah persaingan pajak, serta membatasi kesempatan untuk melakukan penghindaran pajak secara global (global tax evasion). 
Nantinya, terdapat sembilan fungsi otoritas ini, mulai dari mengidentifikasi permasalahan di bidang pajak internasional, mengumpulkan informasi dan statistik perpajakan dari berbagai negara serta memublikasikannya dalam sebuah laporan, sampai yang paling penting yakni membuat sistem pengawasan kebijakan pajak di berbagai negara.
Vito Tanzi berpendapat bahwa tanpa adanya institusi seperti Otoritas Pajak Global, permasalahan terkait kompetisi pajak yang tidak adil dan penghindaran pajak akan selalu ada.
Buku yang disunting oleh Thomas Pogge dan Krishen Mehta ini menekankan persaingan pajak (tax competition) adalah sebuah isu serius, karena merupakan suatu obsesi yang berbahaya. Berbagai negara bersaing untuk menurunkan tarif pajak mereka, memperkecil basis pajak, serta melemahkan pelaksanaan peraturan pajak (race to the bottom). Persaingan pajak kemudian dianggap membuat arus investasi terfokus pada wilayah yang menyediakan berbagai insentif daripada wilayah dengan produktifitas ekonomi yang tinggi.
Pentingnya isu persaingan pajak juga diulas oleh Michael C. Durst dalam artikelnya. Menurutnya, menurunnya tarif pajak badan memiliki pengaruh yang besar bagi negara berkembang. Jika negara maju dapat mengalihkan beban pajak tersebut kepada sektor lain seperti pajak individu atau pajak konsumsi, penerimaan pajak negara berkembang cenderung bertumpu pada pajak badan.
Hal ini disebabkan karena perekonomian negara berkembang masih didominasi oleh sektor informal dengan pembukuan sederhana yang sulit untuk memfasilitasi kebutuhan otoritas pajak atas laporan pajak.
Selain pembahasan di atas, terdapat usulan-usulan lain seperti Financial Transaction Tax (FTT) dan pajak untuk kekayaan anonim (Anonymous Wealth Tax) sebagai solusi untuk mengurangi permasalahan distribusi pendapatan.
Usulan pemajakan atas ‘kekayaan tak bertuan’ terbilang unik karena pemilik harta dapat mengambil kembali sebagian porsi pajak tersebut saat ia telah menyelesaikan kewajiban perpajakan dalam negeri dan aset yang dimiliki di negara lain berasal dari sumber yang sah. Pendapatan dari pajak tersebut kemudian akan dialokasikan untuk membiayai penanganan isu global seperti perubahan iklim sebagai kompensasi atas penghindaran pajak yang telah dilakukan.   
Sebagai penutup, terdapat pemaparan mengenai 10 cara bagi negara berkembang agar dapat menarik investasi asing sekaligus mempertahankan kedaulatan pajaknya.
Selain rekomendasi untuk menghindari persaingan pajak dan insentif pajak, penulis memberikan usulan lain kepada negara berkembang, mulai dari usulan untuk lebih berhati-hati dalam menyepakati perjanjian bilateral pajak atau tax treaty, mengenakan withholding tax bagi non-residen, mengatur sebuah kesepakatan yang adil dengan investor di industri ekstraktif, penggunaan profit split method dalam transfer pricing, sampai saran untuk memajaki sektor informal.
Secara keseluruhan, para kontributor mengajak pembaca untuk semakin peduli dengan permasalahan pajak internasional dan dampaknya terutama terhadap negara berkembang. Buku ini sesuai untuk dibaca para pengambil kebijakan dan tersedia di DDTC Library. (Amu)

KESIMPULANNYA:
Kesimpulan dari artikel ini yaitu ketimpangan pajak internasional sebagian besar sangat berpengaruh terhadap Negara berkembang karena tanpa adanya otoritas pajak  internasional masih akan terjadi ketimpangan atas tarif pajak internasional sehingga akan timbul penghindaran pajak secara global. Begitupun juga pada Negara maju, maka dari itu pembentukan badan pengawasan pajak global sangat penting.

Ref : http://news.ddtc.co.id/artikel/8195/pajak-internasional-memahami-persoalan-pajak-global/



ARTIKEL 2

WELLINGTON, DDTCNews – Perusahaan kecil dan menengah (UKM) di Selandia Baru menginginkan agar pemerintah mereformasi pajak perusahaan sesuai dengan perubahan terbaru yang diperkenalkan oleh Australia.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh seorang periset dari Manajemen Bisnis Software Provider MYOB yang mensurvei 1.015 pemiliki bisnis di Selandia Baru. Berdasarkan hasil riset tersebut, General Manager MYOB Carolyn Luey mengatakan 63% UKM mendukung reformasi pajak yang serupa dengan sistem yang diberlakukan di Australia.
“UKM di Selandia Baru harus tetap kompetititf, terutama bagi mereka yang melakukan perdagangan secara lintas batas. Kami ingin pemerintah bergerak untuk mengurangi pajak perusahaan agar memberi peluang bagi bisnis yang lebih baik,” ungkapnya, Selasa (23/5).
Hasil survei tersebut juga menunjukkan 91% UKM meminta pajak yang adil atas keuntungan yang diterima oleh perusahaan multinasional. Adapun tarif pajak perusahaan yang saat ini berlaku di Selandia Baru sebesar 30%.
Baru-baru ini pemerintah Australia mengumumkan anggaran keuangan terbaru yang berisikan mengenai pemangkasan tarif pajak perusahaan. Perusahaan yang memperoleh keuntungan hingga AUD10 juta atau Rp99,6 miliar tarif pajak akan diturunkan menjadi 27,5%.
Sementara, penghasilan di atas AUD10 juta tetap dikenakan pajak dengan tarif 30%. Pemangkasan tarif pajak ini bertujuan untuk mengurangi tarif pajak perusahaan menjadi 25% terhadap semua bisnis pada tahun 2026-2027 mendatang.
Luey menambahkan sekitar 46% UKM menginginkan agar diterapkan pengenaan pajak barang dan jasa (Good and Service Tax/GST) atas produk yang ditawarkan oleh offshore retailesrs ke pasar di Selandia Baru.
Selain itu, hasil survei menunjukkan 68% UKM di Selandia Baru menginginkan agar diterapkan skema penghapusan aset untuk memacu investasi. Di Australia, seperti dilansir dalam tax-news.com, UKM dapat menghapus aset baru hingga AUD20.000 atau Rp199 juta, yang berarti bisnis akan menerima keuntungan pajak dan keuntungan produktivitas yang besar dari peningkatan pabrik dan peralatan. (Amu)

KESIMPULANNYA :
Sebagian besar UKM di Selandia baru mendukung reformasi pajak yang serupa dengan sistem yang diberlakukan di Australia. Dengan demikian, 91% UKM meminta pajak yang adil atas keuntungan yang diterima oleh perusahaan multinasional. 68% UKM di Selandia Baru menginginkan agar diterapkan skema penghapusan aset untuk memacu investasi, serta UKM Selandia baru juga ingin pemerintah bergerak untuk mengurangi pajak perusahaan agar memberi peluang bagi bisnis yang lebih baik. Dan menurut periset dari Manajemen Bisnis Software Provider MYOB ,UKM di Selandia baru harus tetap kompetititf, terutama bagi mereka yang melakukan perdagangan secara lintas batas.


Ref : http://news.ddtc.co.id/artikel/10143/selandia-baru--tiru-australia-ukm-minta-tarif-pajak-dipangkas/


ARTIKEL 3


MANILA, DDTCNews – Pemerintah Filipina menilai reformasi pajak yang akan segera dilakukan dapat mengendalikan beban pemerintah atas pengecualian pajak pertambahan nilai (PPN) yang selama ini diberikan terhadap sejumlah barang dan jasa.
Wakil Menteri Keuangan Filipina Karl Kendrick Chua mengatakan selama ini pemerintah Filipina harus menanggung beban sebesar ?90,7 miliar atau sekitar Rp24,4 triliun per tahun atas keringanan PPN tersebut.
“Kami akan merombak sistem pajak negara yang sudah ketinggalan zaman dengan memperluas basis PPN melalui penghapusan sejumlah barang dan jasa yang dibebaskan PPN,” ungkapnya, Jumat (19/5).
Chua mengatakan dalam aturan yang lama terdapat sekitar 59 barang dan jasa yang mendapatkan pengecualian dan dibebaskan dari PPN, serta 84 jenis barang dan jasa khusus yang diatur dalam UU PPN. Pengecualian tersebut menyebabkan adanya kebocoran pendapatan secara besar-besaran.
Untuk melindungi masyarakat kelas menengah ke bawah dan sektor rentan lainnya, House Bill 4774 tetap akan mempertahankan pembebasan PPN bagi manula, penyandang cacat, bahan pokok serta biaya kesehatan dan pendidikan.
“Selain itu, semua pembelian barang yang berasal dari toko kecil dengan penjualan di bawah ?3 juta atau sekitar Rp807 juta tidak akan dikenakan PPN,” jelasnya.
House Bill 4774 adalah versi pertama yang disahkan oleh Kementerian Keuangan Filipina tentang Program Reformasi Pajak Komprehensif (RKP) dari pemerintahan Presiden Duterte. Selain menurunkan tarif pajak penghasilan orang pribadi dan memperluas basis PPN, Undang-Undang tersebut juga memuat ketentuan yang mengatur tarif cukai untuk bahan bakar dan mobil.
Chua mencatat meskipun tarif PPN Filipina adalah yang tertinggi di wilayah ASEAN yakni sebesar 12%, seperti dilansir dalam tax-news.com, tingkat efisiensi dan pengumpulan rezim PPN jauh lebih rendah daripada ekonomi di Asia Tenggara lainnya, dengan pencapaian setara dengan rata-rata hanya 4,2% dari produk domestik bruto (PDB).
“Sebaliknya, tarif PPN Thailand lebih rendah yaitu 7%, namun efisiensi dan pemungutan hasil pendapatan juga setara dengan sekitar 4,2% dari PDB karena pengecualian PPN hanya terbatas pada 35 item,” kata Chua. (Amu)

KESIMPULANNYA:
Pemerintah Filipina menilai reformasi pajak yang akan segera dilakukan dapat mengendalikan beban pemerintah atas pengecualian pajak pertambahan nilai (PPN) yang selama ini diberikan terhadap sejumlah barang dan jasa. Dan kenyataannya, meskipun tarif PPN Filipina adalah yang tertinggi di wilayah ASEAN yakni sebesar 12%, seperti dilansir dalam tax-news.com, tingkat efisiensi dan pengumpulan rezim PPN jauh lebih rendah daripada ekonomi di Asia Tenggara lainnya, dengan pencapaian setara dengan rata-rata hanya 4,2% dari produk domestik bruto (PDB).


Ref : http://news.ddtc.co.id/artikel/10121/filipina-reformasi-pajak-objek-ppn-diperluas/