Nama : Yenny
NPM :
29213428
Kelas : 4EB04
ARTIKEL 1
PERSOALAN terkait
pajak internasional seperti persaingan pajak (tax competition), negara tax
haven, serta ketimpangan distribusi pendapatan kerap kali merugikan baik
negara maju, dan terutama negara berkembang. Lantas, bagaimanakah para pengambil
kebijakan menyikapi hal ini?
Buku
bertajuk Global Tax Fairness ini memaparkan usulan dari berbagai
kontributor ahli untuk memperbaiki sistem pajak internasional. Buku terbitan
Oxford University Press pada tahun 2016 ini sangat menarik karena solusi yang
ditawarkan tidak terbatas hanya pada solusi yang sering dibahas oleh
organisasi internasional seperti OECD, namun juga usulan yang mungkin sedikit
asing atau tidak pernah digagas sebelumnya.
Dalam salah satu
bab, Vito Tanzi menjelaskan perlunya dibentuk Otoritas Pajak Global
(Global Tax Authority). Menurutnya, dalam era globalisasi di mana telah banyak
muncul organisasi internasional yang menangani berbagai isu, belum ada sebuah
organisasi yang mengatur hubungan perpajakan antarnegara, menangani masalah
persaingan pajak, serta membatasi kesempatan untuk melakukan penghindaran pajak
secara global (global tax evasion).
Nantinya, terdapat
sembilan fungsi otoritas ini, mulai dari mengidentifikasi permasalahan di
bidang pajak internasional, mengumpulkan informasi dan statistik perpajakan
dari berbagai negara serta memublikasikannya dalam sebuah laporan, sampai yang
paling penting yakni membuat sistem pengawasan kebijakan pajak di berbagai
negara.
Vito Tanzi berpendapat
bahwa tanpa adanya institusi seperti Otoritas Pajak Global, permasalahan
terkait kompetisi pajak yang tidak adil dan penghindaran pajak akan selalu ada.
Buku yang disunting
oleh Thomas Pogge dan Krishen Mehta ini menekankan persaingan pajak (tax
competition) adalah sebuah isu serius, karena merupakan suatu obsesi yang
berbahaya. Berbagai negara bersaing untuk menurunkan tarif pajak mereka,
memperkecil basis pajak, serta melemahkan pelaksanaan peraturan pajak (race to
the bottom). Persaingan pajak kemudian dianggap membuat arus investasi terfokus
pada wilayah yang menyediakan berbagai insentif daripada wilayah dengan
produktifitas ekonomi yang tinggi.
Pentingnya isu
persaingan pajak juga diulas oleh Michael C. Durst dalam artikelnya.
Menurutnya, menurunnya tarif pajak badan memiliki pengaruh yang besar bagi
negara berkembang. Jika negara maju dapat mengalihkan beban pajak tersebut
kepada sektor lain seperti pajak individu atau pajak konsumsi, penerimaan pajak
negara berkembang cenderung bertumpu pada pajak badan.
Hal ini disebabkan
karena perekonomian negara berkembang masih didominasi oleh sektor informal
dengan pembukuan sederhana yang sulit untuk memfasilitasi kebutuhan otoritas
pajak atas laporan pajak.
Selain pembahasan di
atas, terdapat usulan-usulan lain seperti Financial Transaction Tax (FTT)
dan pajak untuk kekayaan anonim (Anonymous Wealth Tax) sebagai solusi
untuk mengurangi permasalahan distribusi pendapatan.
Usulan pemajakan atas
‘kekayaan tak bertuan’ terbilang unik karena pemilik harta dapat mengambil
kembali sebagian porsi pajak tersebut saat ia telah menyelesaikan kewajiban
perpajakan dalam negeri dan aset yang dimiliki di negara lain berasal dari
sumber yang sah. Pendapatan dari pajak tersebut kemudian akan dialokasikan
untuk membiayai penanganan isu global seperti perubahan iklim sebagai kompensasi
atas penghindaran pajak yang telah dilakukan.
Sebagai penutup,
terdapat pemaparan mengenai 10 cara bagi negara berkembang agar dapat menarik
investasi asing sekaligus mempertahankan kedaulatan pajaknya.
Selain rekomendasi
untuk menghindari persaingan pajak dan insentif pajak, penulis memberikan
usulan lain kepada negara berkembang, mulai dari usulan untuk lebih
berhati-hati dalam menyepakati perjanjian bilateral pajak atau tax treaty,
mengenakan withholding tax bagi non-residen, mengatur sebuah kesepakatan
yang adil dengan investor di industri ekstraktif, penggunaan profit split
method dalam transfer pricing, sampai saran untuk memajaki sektor
informal.
Secara keseluruhan,
para kontributor mengajak pembaca untuk semakin peduli dengan permasalahan
pajak internasional dan dampaknya terutama terhadap negara berkembang. Buku ini
sesuai untuk dibaca para pengambil kebijakan dan tersedia di DDTC Library.
(Amu)
KESIMPULANNYA:
Kesimpulan dari artikel
ini yaitu ketimpangan pajak internasional sebagian besar sangat berpengaruh
terhadap Negara berkembang karena tanpa adanya otoritas pajak internasional masih akan terjadi ketimpangan
atas tarif pajak internasional sehingga akan timbul penghindaran pajak secara
global. Begitupun juga pada Negara maju, maka dari itu pembentukan badan
pengawasan pajak global sangat penting.
Ref : http://news.ddtc.co.id/artikel/8195/pajak-internasional-memahami-persoalan-pajak-global/
ARTIKEL 2
WELLINGTON, DDTCNews –
Perusahaan kecil dan menengah (UKM) di Selandia Baru menginginkan agar
pemerintah mereformasi pajak perusahaan sesuai dengan perubahan terbaru yang
diperkenalkan oleh Australia.
Pernyataan tersebut
disampaikan oleh seorang periset dari Manajemen Bisnis Software
Provider MYOB yang mensurvei 1.015 pemiliki bisnis di Selandia Baru.
Berdasarkan hasil riset tersebut, General Manager MYOB Carolyn Luey mengatakan
63% UKM mendukung reformasi pajak yang serupa dengan sistem yang diberlakukan
di Australia.
“UKM di Selandia Baru
harus tetap kompetititf, terutama bagi mereka yang melakukan perdagangan secara
lintas batas. Kami ingin pemerintah bergerak untuk mengurangi pajak perusahaan
agar memberi peluang bagi bisnis yang lebih baik,” ungkapnya, Selasa (23/5).
Hasil survei tersebut
juga menunjukkan 91% UKM meminta pajak yang adil atas keuntungan yang diterima
oleh perusahaan multinasional. Adapun tarif pajak perusahaan yang saat ini
berlaku di Selandia Baru sebesar 30%.
Baru-baru ini
pemerintah Australia mengumumkan anggaran keuangan terbaru yang berisikan
mengenai pemangkasan tarif pajak perusahaan. Perusahaan yang memperoleh
keuntungan hingga AUD10 juta atau Rp99,6 miliar tarif pajak akan diturunkan
menjadi 27,5%.
Sementara, penghasilan
di atas AUD10 juta tetap dikenakan pajak dengan tarif 30%. Pemangkasan tarif
pajak ini bertujuan untuk mengurangi tarif pajak perusahaan menjadi 25%
terhadap semua bisnis pada tahun 2026-2027 mendatang.
Luey menambahkan
sekitar 46% UKM menginginkan agar diterapkan pengenaan pajak barang dan jasa
(Good and Service Tax/GST) atas produk yang ditawarkan oleh offshore
retailesrs ke pasar di Selandia Baru.
Selain itu, hasil
survei menunjukkan 68% UKM di Selandia Baru menginginkan agar diterapkan skema
penghapusan aset untuk memacu investasi. Di Australia, seperti dilansir
dalam tax-news.com, UKM dapat menghapus aset baru hingga AUD20.000 atau
Rp199 juta, yang berarti bisnis akan menerima keuntungan pajak dan keuntungan
produktivitas yang besar dari peningkatan pabrik dan peralatan. (Amu)
KESIMPULANNYA
:
Sebagian besar UKM di
Selandia baru mendukung reformasi pajak yang serupa dengan sistem yang
diberlakukan di Australia. Dengan demikian, 91% UKM meminta pajak yang adil
atas keuntungan yang diterima oleh perusahaan multinasional. 68% UKM di Selandia
Baru menginginkan agar diterapkan skema penghapusan aset untuk memacu
investasi, serta UKM Selandia baru juga ingin pemerintah bergerak untuk
mengurangi pajak perusahaan agar memberi peluang bagi bisnis yang lebih baik. Dan
menurut periset dari Manajemen Bisnis Software Provider MYOB ,UKM di
Selandia baru harus tetap kompetititf, terutama bagi mereka yang melakukan
perdagangan secara lintas batas.
Ref : http://news.ddtc.co.id/artikel/10143/selandia-baru--tiru-australia-ukm-minta-tarif-pajak-dipangkas/
ARTIKEL 3
MANILA, DDTCNews –
Pemerintah Filipina menilai reformasi pajak yang akan segera dilakukan dapat
mengendalikan beban pemerintah atas pengecualian pajak pertambahan nilai (PPN)
yang selama ini diberikan terhadap sejumlah barang dan jasa.
Wakil Menteri Keuangan
Filipina Karl Kendrick Chua mengatakan selama ini pemerintah Filipina harus
menanggung beban sebesar ?90,7 miliar atau sekitar Rp24,4 triliun per tahun
atas keringanan PPN tersebut.
“Kami akan merombak
sistem pajak negara yang sudah ketinggalan zaman dengan memperluas basis PPN
melalui penghapusan sejumlah barang dan jasa yang dibebaskan PPN,” ungkapnya,
Jumat (19/5).
Chua mengatakan dalam
aturan yang lama terdapat sekitar 59 barang dan jasa yang mendapatkan
pengecualian dan dibebaskan dari PPN, serta 84 jenis barang dan jasa khusus
yang diatur dalam UU PPN. Pengecualian tersebut menyebabkan adanya kebocoran
pendapatan secara besar-besaran.
Untuk melindungi
masyarakat kelas menengah ke bawah dan sektor rentan lainnya, House Bill 4774
tetap akan mempertahankan pembebasan PPN bagi manula, penyandang cacat, bahan
pokok serta biaya kesehatan dan pendidikan.
“Selain itu, semua
pembelian barang yang berasal dari toko kecil dengan penjualan di bawah ?3 juta
atau sekitar Rp807 juta tidak akan dikenakan PPN,” jelasnya.
House Bill 4774 adalah
versi pertama yang disahkan oleh Kementerian Keuangan Filipina tentang Program
Reformasi Pajak Komprehensif (RKP) dari pemerintahan Presiden Duterte. Selain
menurunkan tarif pajak penghasilan orang pribadi dan memperluas basis PPN,
Undang-Undang tersebut juga memuat ketentuan yang mengatur tarif cukai untuk
bahan bakar dan mobil.
Chua mencatat meskipun
tarif PPN Filipina adalah yang tertinggi di wilayah ASEAN yakni sebesar 12%,
seperti dilansir dalam tax-news.com, tingkat efisiensi dan pengumpulan
rezim PPN jauh lebih rendah daripada ekonomi di Asia Tenggara lainnya, dengan
pencapaian setara dengan rata-rata hanya 4,2% dari produk domestik bruto (PDB).
“Sebaliknya, tarif PPN
Thailand lebih rendah yaitu 7%, namun efisiensi dan pemungutan hasil pendapatan
juga setara dengan sekitar 4,2% dari PDB karena pengecualian PPN hanya terbatas
pada 35 item,” kata Chua. (Amu)
KESIMPULANNYA:
Pemerintah Filipina
menilai reformasi pajak yang akan segera dilakukan dapat mengendalikan beban
pemerintah atas pengecualian pajak pertambahan nilai (PPN) yang selama ini
diberikan terhadap sejumlah barang dan jasa. Dan kenyataannya, meskipun tarif
PPN Filipina adalah yang tertinggi di wilayah ASEAN yakni sebesar 12%, seperti
dilansir dalam tax-news.com, tingkat efisiensi dan pengumpulan rezim PPN
jauh lebih rendah daripada ekonomi di Asia Tenggara lainnya, dengan pencapaian
setara dengan rata-rata hanya 4,2% dari produk domestik bruto (PDB).
Ref : http://news.ddtc.co.id/artikel/10121/filipina-reformasi-pajak-objek-ppn-diperluas/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar